Sabtu, 02 November 2013

Hanya Kamu

Franda POV

Aku menatap ke arah langit yang dipenuhi bintang. Menyebar indah seiring sinarnya yang sederhana dan apa adanya. Aku menunggumu di sini. Di tempat yang selalu menerima kita. Menerima cinta kita yang banyak ditentang oleh orang yang menggilaimu. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku tentang cintaku dan cintamu. Kubuka secara perlahan. Kamu! Muncul di hadapanku dengan wajah yang sumringah. Selalu. Aku menggiringmu untuk duduk. Menyuguhkan secangkir kopi susu dengan aroma khasnya yang terkuar nikmat.

Kamu selalu seperti ini. Menampilkan wajah tanpa beban. Menceritakan aktivitas yang kamu lakukan. Kamu seperti bintang yang bersinar. Sederhana dan apa adanya. 

“Nda,” panggilmu.

”Hmm,” Aku hanya menggumam. Aku memikirkannya. Masih memikirkannya. Cintaku dan cintamu yang terlalu banyak halangan. Bukan banyak. Mungkin hanya selalu itu sehingga terkesan banyak. Padahal hanya itu.

Kamu menyandarkan kepalamu di bahuku. Aku merasa nyaman. “Kamu nggak akan nyerah lagi, kan?” tanyamu yang membuatku terkejut.

Aku menolehkan kepalaku ke arahmu yang masih nyaman di bahuku. Kata menyerah selalu ada dalam ingatanku. Selalu ingin kuutarakan terhadapmu. Tapi apa aku sanggup mengutarakannya kepadamu (lagi)?

Kamu mendongak dan menatapku. Memegang bahuku. Memelukku dengan hangat. Memberikan sinyal bahwa aku tak boleh menyerah. 

“Nda, kamu harus percaya kalo aku nggak akan nyerah!” bisikmu.

Aku pengecut. Ingin berhenti menjadi pengecut. Sampai kapan pun aku tak akan mungkin menyerah. Bukan hanya aku tapi kamu. Ini kisah kita. Kita yang memulainya dengan cinta. Bukan mereka. Kali ini saja, biarkan aku menjadi egois. Aku tak ingin kehilanganmu, lagi.

“Bis, aku nggak akan nyerah lagi. Ini cinta kita. Kisah kita. Rasaku. Rasamu. Kali ini aku nggak akan nyerah lagi.”

Kamu memelukku, sekali lagi. Dulu aku pernah menyerah terhadapmu. Di hadapanmu, aku pernah menyerah. Bukan karena aku ingin, tapi karena mereka yang menggilaimu yang menginginkannya. Kini, aku takkan menyerah. Bukan karena mereka aku bertahan. Tetapi karena hati kita yang ingin bertahan. Aku akan mempertahankan bintangku. Mempertahankan sinar sederhana dan apa adanya.

Satu hal yang selalu ingin aku ucapkan padamu setiap hari. “Aku mencintaimu, Bisma.”

***

Bisma POV 

Aku masih menunggumu di sini. Di tempat yang mau menerima kita meski banyak yang menentang kisah kita. Hanya tempat sederhana. Sebuah bukit di tengah kota tanpa tahu kehadiran si bukit. Bukit cinta. Begitu kita menyebutnya. Karena hanya tempat ini yang mau menerima kisah kita. Menerima kisah cinta kita yang kebanyakan ditentang oleh banyak orang yang menggilaiku.

Kudengar derap langkah kaki yang terburu-buru. Kutolehkan kepalaku ke belakang. Menyambutmu dengan merentangkan tanganku ke arahmu. Kamu memelukku. Perasaan hangat selalu menguar di sekujur hatiku kala dekapan hangatmu menyentuhku.

Kurasakan basah di bajuku yang menembus hingga ke bahuku. Kuingin melepaskan pelukanmu. Menanyakan alasan apa yang membuatmu mengeluarkan airmata. Kamu bukan gadis yang cengeng. Kamu gadis kuat yang selama ini kukenal. Ada apa dengan kamu? Kamu masih enggan melepaskan pelukan meski aku sudah menanyakan sebabnya. Kamu hanya diam. Maka aku akan bersedia menunggu jawabanmu. Menunggumu hingga kamu bisa tenang. Menjelaskan sebab kamu menangis.

Kini, kamu sudah tenang. Bersedia melepaskan pelukanku walau kutahu kamu enggan. Ada alasan lain selain enggan melepaskan pelukanku. Kamu seperti ingin mengungkapkan sesuatu padaku. Perasaan tidak enak melingkupi batinku. Terlihat dari matamu, kamu enggan mengutarakannya. Kumohon, jangan pernah mengungkapkan kalimat yang bahkan aku sendiri tidak akan sanggup mengungkapkannya padamu.

“Bis,” panggilmu lirih seakan kamu akan pergi jauh dariku.

“Apa?” suara serakku mewakili firasatku tentang apa yang akan kamu ucapkan.

“Aku nyerah.” Kamu mengucapkannya. Mengucapkan kata yang seharusnya tidak boleh diucapkan.

“Kenapa?” nada suaraku semakin serak. Airmatamu kembali mengalir.

“Aku nggak bisa nerusin semuanya, Bis. Terlalu banyak pihak yang tersakiti dengan adanya kita. Sekarang, lebih baik kita masing-masing. Aku dan kamu. Bukan kita.” Penjelasanmu membuat dadaku sakit dan nyeri. 

Kamu melangkah pergi setelah memberikan pelukan hangatmu yang selalu membuatku nyaman. Aku terpaku memandangmu yang semakin menjauh dari penglihatanku. Aku memang pengecut yang tak mampu mempertahankanmu di antara jutaan orang yang menggilaiku. Aku terlalu pengecut membiarkan kamu yang menanggungnya. Aku selalu menyakitimu dalam kisah kita ini. Maafkan aku yang selalu menjadi pengecut di hadapanmu dan di hatimu.

Hari berikutnya aku menjalani hariku dengan topeng semangat. Mengeluarkan senyum sumringah di hadapan orang yang menggilaiku. Terlihat tawa puas yang mereka tampilkan. Dunia seolah mengikuti jejak mereka, menertawakan perpisahan kita. Perpisahan kisah yang masih menyisakan cinta.

Hari berikutnya aku masih setia dengan topeng semangat yang dibaur dengan topeng senyum sumringah. Terkesan tulus padahal palsu. Aku hanya ingin membuat mereka senang. Apakah mereka tidak menyadari bagaimana menjadi aku? Atau menjadi kamu? Ah iya, mereka terlalu sibuk dengan angan-angan mereka tentang hatiku. Tahu apa mereka tentang rasaku terhadapmu?

Hari-hari berikutnya aku masih memakai topeng yang sama. Topeng semangat yang kian lama kian luntur. Aku lelah mengenakan topeng ini. Lelah dengan semuanya yang menentang kisah cinta kita. Tidak tahukah mereka bahwa aku bahagia denganmu? Bahagia dengan rasaku terhadapmu? Sekali lagi, mereka hanya bisa melihat tanpa bisa merasakan bagaimana menjalani kisahku dan kisahmu sehingga menjadi kisah kita. Mereka terlalu sibuk dengan impian mereka tentang masa laluku yang tak mungkin jadi masa depanku. Ingin berteriak di hadapan mereka tapi hatiku menahannya. Aku masih mempunyai hati untuk meredam setiap emosi yang tiba-tiba hadir ketika mereka mulai menghina kisah kita. Tapi kurasa ini cukup.

Sudah berapa bulan kita berpisah? Belum pernah bertemu sekali pun. Aku merasakan sesak yang mendalam di dadaku. Masih menyisakan rasa nyeri dan perih dibatinku. Hanya kamu yang bisa menyembuhkan luka yang kian melebar ini. Hanya kamu!
Tanpa sadar aku sudah melajukan mobilku ke tampat yang hanya mau menerima kita. Menerima kisah kita. Bukit cinta. Sudah lama aku tidak ke mari. Aku melangkahkan kakiku ke luar dari mobil. Ingin bersenandung seperti dulu sewaktu aku masih bersamamu. Namun kini rasanya aku sudah lupa bagaimana cara bersenandung.

Aku terkejut. Kamu ada di sini? Untuk apa? Kamu menengadahkan kepalamu. Merentangkan tanganmu. Kamu masih sama seperti dulu. Bagaimana mungkin kisah kita harus kembali ke kisahku dan kisahmu. Kisah kita hanya akan jadi kisah kita. Menuangkan kisah-kisah indah yang kita jalani bersama.

Aku menghampirimu. Menggumamkan kata yang membuatmu terkejut dengan kehadiranku. Aku tahu kamu masih belum mampu melupakanku. Melupakan kisahku dan kisahmu yang terangkai indah dengan jalinan cinta.

“Bisma, kamu ngapain di sini?” tanyamu canggung.

“Harusnya aku yang tanya, kamu ngapain di sini?” tanyaku kembali yang terdengar sinis. Bukan maksudku untuk mengeluarkan nada sinis itu. Hanya saja… entahlah.

“Aku…”

Aku memotong ucapanmu dengan pelukanku. Aku merindukanmu. Aku kangen kamu! Kamu seharusnya tidak mengucapkan kata menyerah. Kamu seharusnya kuat. Bertahan jika ingin bertahan. Munafik jika aku terus mempertahankan nada sinisku seperti tadi. Aku tidak sanggup.

Kurasakan basah menembus bahuku. Kamu mengeluarkan airmatamu untukku (lagi). Kenapa kamu harus mengeluarkannya? Aku sakit melihatmu menangis. Ada apa? Aku memaksamu untuk melepaskan jarak yang terjadi di antara kita. Memandangimu yang masih mengeluarkan airmata. Matamu sembab. Atau memang sudah sembab dan semakin sembab?

“Aku kangen kamu,” kalimat itu ke luar dari bibirmu yang bergetar. Kamu kangen padaku? Aku tidak menyangka bahwa kamu akan mengucapkan kalimat itu. Aku tidak menyadari bahwa kamu juga merasakan sesak sama sepertiku. Aku sama sekali tidak tahu bahwa kamu juga sesakit ini dengan perpisahan kita. Aku tidak tahu. Aku pikir hanya aku yang merasakan semua itu. Selain pengecut, aku juga bodoh!

“Nda,” suara serakku memanggil namamu.

Kamu mendongak. Aku mengecup bibirmu singkat.

“Aku nggak akan nyerah lagi, Bis. Nggak akan! Biarin aku egois untuk kamu. Hanya kamu.” Kamu mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang membuat batinku bahagia. Meluapkan rasa yang meletup-letup di dada.

Aku mengangguk semangat. “Maafin aku yang selama ini udah jadi pengecut. Aku juga nggak akan pernah nyerah. Aku nggak akan pernah ngebiarin kamu pergi lagi dari aku. Aku nggak mau kehilangan kamu lagi, Nda.”

Kamu mengangguk. Aku bahagia. Aku akan berhenti menjadi pengecut sekarang. Aku tidak akan pernah melepaskan kamu lagi. Aku akan selalu berada di sampingmu. Menjadi bentengmu ketika jutaan orang yang menggilaiku melukaimu. Aku akan menjadi tameng yang tangguh, melindungimu dari mereka yang ingin menjatuhkanmu di hadapanku. Aku akan kembali memulai kisah ini.

“Aku akan mempertahankan rasaku. Mempertahankan rasamu. Rasa kita. Cinta kita. Biarkan hanya aku dan kamu yang menjadi pelaku dalam kisah kita tanpa campur tangan dari mereka. Aku mencintaimu, Franda. Selalu memberikan cintaku untukmu.”

“Aku mencintaimu, Bisma.”

Aku dan kamu kembali bersama. Menuangkan kisah-kisah unik di dalam secangkir impian yang menguarkan aroma cinta yang nikmat. Hanya kamu yang membuatku bahagia. Hanya kamu yang selalu bersabar menghadapiku. Hanya kamu yang mampu memberikan sinergi kekuatan kala kujatuh. Hanya kamu yang sanggup menerimaku apa adanya dengan segala kesederhanaan hatimu. Dan hanya kamu yang mampu membuatku jatuh hati kepadamu. Melupakan semua imajiku. Membiarkan semuanya mengalun indah. Mengalir rapi seiring jalinan cinta yang kita rasakan bersama. Cintaku dan cintamu akan mengalahkan mereka. Cinta kita akan bertahan. Aku akan mengungkapkan kalimat cinta setiap harinya hingga kita tak bisa membuka mata. Aku akan bertahan, mempertahankanmu agar tetap berada di sisiku. Selalu.

Jumat, 23 November 2012

Aku Mencintaimu


Aku Mencintaimu…

Mataku memandang lurus ke arahnya. Seorang gadis cantik nan menawan. Entah apa yang membuatku begitu mengaguminya. Aku berlari kecil mengejarnya, ingin memberinya sesuatu. Aku menepuk pundaknya pelan, ia menoleh namun dihiraukannya. Kucekal lengannya, lalu kuletakkan sekotak coklat ditangannya. Dengan santainya ia membuang coklat yang kuberikan. Aku hanya tersenyum.

Dengan membawa kepercayaan diri bahwa ia akan menerima sekotak coklat yang kuberi tanpa membuangnya. Hari berikutnya aku mengejarnya. Memberinya sekotak coklat, lagi. Ia menerimanya lalu membuangnya seperti sebelumnya.

Hari-hari selanjutnya aku masih mengejarnya. Memberinya sekotak coklat yang selalu ia terima dan ia buang. Aku tak marah dan tak juga kecewa.

Hari demi hari berlalu. Aku masih mengejarnya dengan harapan ia takkan membuangnya lagi. Meski kutahu harapan itu hanya sia-sia. Nyatanya ia tetap membuang coklat yang kuberi untuknya. Sungguh, aku tak lelah mengejarnya. Tak letih memberinya coklat yang selalu ia buang di depan mataku.

Sampai suatu ketika, ia mau menerimanya. Menerima sekotak coklat yang selalu kuberikan padanya. Aku bahagia.

“Kenapa kau selalu mengejarku dan memberiku sekotak coklat yang bahkan aku selalu membuangnya dihadapanmu?” tanyanya.

“Karena aku mencintaimu dalam segala kerendahan diriku.”

Ia tertegun, mematung ditempatnya.